[Review] Soredemo Sekai Wa Utsukushii
“Aah, musim semi. Musim di mana anime - anime baru mulai menampakkan jati dirinya, dan berbagai macam genre mulai diperkenalkan lagi.” “Wo...
http://japan-arena.blogspot.com/2014/07/review-soredemo-sekai-wa-utsukushii.html
“Aah, musim semi. Musim di mana anime - anime baru mulai menampakkan jati dirinya, dan berbagai macam genre mulai diperkenalkan lagi.”
“Woy, Pierrot bikin anime adaptasi manga shoujo lo.”
“Eh?!”
“Terus katanya, lead characternya cewek, mirip Nausicaä lagi.”
“Eeeehhh?!”
Kira - kira, itulah pikiran yang muncul dari benak saya ketika pada musim semi kemarin, Studio Pierrot memproduksi anime berjudul Soredemo Sekai wa Utsukushii ini. Karena terpancing kata - kata karakter utama wanita dan mirip Nausicaä, tanpa ba-bi-bu pun saya langsung menonton anime ini. Sayangnya, pada saat itu, ada dua hal yang tidak saya sadari. Saya tengah menonton anime adaptasi demografi manga yang tidak familiar dengan saya, dan saya tengah menonton anime produksi studio Pierrot. Tapi karena sudah terlanjur, akhirnya saya menonton anime ini sampai habis. Bahkan saya sampai menyempatkan waktu untuk membuat review-nya. Oh iya, sekadar info saja, saya benci studio Pierrot, karena berbagai macam alasan, baik dari segi teknis dan non-teknis (kecuali Tegami Bachi, karena serial itu dihiasi dengan visual yang keren).
Jadi, begini ceritanya, kira - kira: Nike Lemercier, seorang putri dari Negara Hujan yang terpencil, tiba - tiba dikirim oleh orang tuanya (lebih tepatnya, ayahnya) ke Kerajaan Matahari, untuk dinikahkan dengan sang raja, Livius I, atas alasan diplomatis. Nike yang kurang beruntung ini harus menikahi sang raja, atau keselamatan negerinya jadi taruhan, karena sang raja ini terkenal dengan reuputasinya sebagai penakluk negara lain. Setelah akhirnya ia sampai di kerajaan tersebut (setelah sebelumnya dirampok di kota pelabuhan, walaupun akhirnya ia bisa mengalahkan perampoknya), betapa kagetnya ia, kalau sang raja, Livius I, adalah seorang anak kecil. Dari sinilah cerita romansa pasangan aneh ini bergulir.
Pada awalnya, Nike merasa bahwa Livi hanyalah anak kecil. Tetapi, satu hal yang ia tidak sadari: di dalam tubuh kecil Livi, tersimpan emosi seorang pemimpin yang berhati dingin (mungkin lebih tepat jika disebut sebagai tiran), yang disebabkan oleh kematian ibunya. Mengetahui hal itu, Nike pun akhirnya bertekad untuk menunjukkan kepada Livi, yang sudah tidak bisa mempercayai siapapun, bahwa dunia itu masih indah. Dan dimulailah kehidupan Nike sebagai permaisuri di Kerajan Matahari ini.
Jujur saya menyukai karakter Nike. Walaupun pengambaran Nike meleset dari bayangan awal saya (ingat omongan tentang Nausicaä tadi?), Nike bukanlah tipe karakter 'putri yang perlu diselamatkan'. Nike mandiri, kuat, dan mampu menjadi penopang dari Livi, bukan, dari seluruh cerita ini. Tentu ada kualitas - kualitas negatif dalam Nike, namun sebatas yang saya tangkap, kualitas negatif tadi hanya berfungsi sebagai comic relief. Oh, ngomong - ngomong soal comic relief, anime ini juga menampilkan trio orang bijak (yang kayaknya mirip sekali dengan trio orang bijak di Outbreak Company, dan saya baru sadar kalau salah satunya diisi suaranya oleh Shuichi Ikeda!), yang seharusnya berlaku sebagai tetua dan penasihat kerajaan, sebagai bumbu komedi yang membuat suasana anime ini menjadi pecah (ayo pak tua, harusnya kalian dapat waktu tayang lebih!). Juga karakter Neil, sang butler (yang diperankan oleh Tomokazu Sugita, ngomong - ngomong), yang dapat menyeimbangkan konten serius dan tidak serius dalam anime ini. Semua karakter di sini nampak sempurna. Cuma ada satu masalah buat saya: Livi.
Yep, sang raja sendiri. Kenapa? Livi di sini, selain berperan sebagai umpan bagi para shotacon yang kebetulan sedang mencari tontonan pemuas hasrat mereka, juga tidak memiliki kualitas memadai sebagai lead character. Latar belakang suram yang ditempelkan padanya membuat mental penguasanya seperti dibuat – buat. Hingga pada titik tertentu, saya membenci Livi karena ia mengamuk tanpa kendali kepada saudara sepupunya yang pernah diasuh oleh ibunya tanpa suatu alasan yang cukup jelas. Ternyata, setelah akhirnya dijelaskan di akhir episode yang sama, ia marah kepada sang saudara karena sang saudara tidak mampu untuk melindungi ibunya. Tentu, kita sendiri sering melihat kemarahan seperti itu, yang biasanya diasosiasikan oleh sosok anak kecil. Inilah masalah yang saya maksud. Karakter Livi terasa inkonsisten. Pada saat tertentu, ia terlihat sebagai seorang pemimpin yang cakap dan cekatan. Pada keadaan lainnya, ia berubah 180° menjadi seorang anak kecil yang kemarahannya bisa membuat sekelilingnya bergidik ketakutan. Pubertas? Saya rasa ia masih terlalu muda untuk mengalami hal – hal seperti mood swings.
Meskipun banyak sekali plus minus dari sisi karakter, SoreSeka masih mendapat toleransi saya dari segi plot dan karakter (terima kasih kepada trio kakek tua dan Nike). Namun, nampaknya kualitas animasi dan grafis tidak ingin menambah kualitas dari serial ini. Seperti yang saya katakan sebelumnya, anime ini digarap oleh Pierrot. Iya, studio Pierrot, yang senantiasa menghiasi layar kaca dengan berbagai anime adapatasi manga shonen (kebanyakan dari Jump), setelah sebelumnya sempat merintis tren mahou shoujo pada tahun 80-an. Bagi saya, Pierrot adalah studio animasi yang paling biasa – biasa saja. Mereka tidak pernah berusaha untuk memperindah animasi buatan mereka. Dan hal tersebut terlihat di dalam kualitas animasi dan grafis SoreSeka. Sedikit (dari banyak) kecacatan yang saya temukan dalam anime ini: Background yang hambar, animasi yang kaku, dan parahnya lagi, objek dan latar yang tidak serasi. Tentunya lebih banyak lagi yang bisa ditemukan, dan kebanyakan, hal – hal tadi terjadi di episode pertengahan.
Penderitaan saya tidak berhenti pada kecacatan grafis dan animasi saja. (lagi – lagi) Di episode pertengahan, saya menemukan hal yang sangat menggangu. Akting Nobunaga Shimazaki, pengisi suara Livi, terdengar buruk. Tidak ada ekspresi yang dapat saya tangkap karena ketika saya mendengarkan dialog Livi, yang terbesit di pikiran saya adalah, “Apa ia hanya membaca skripnya saja, tanpa berusaha untuk menghayati dialognya?”, walaupun pada beberapa episode terakhir, kualitasnya lumayan membaik.
Setidaknya, suara Nike, yang diperankan oleh aktris pendatang baru Rena Maeda, tidak buruk. Bahkan, saya sempat mengagumi suara Maeda ketika ia bernyanyi lagu Ame Furashi no Uta – Beautiful Rain pada dua episode awal (walaupun lagu itu nantinya bakal diulang hampir pada tiap episode selanjutnya, sampai akhirnya, pada saat saya menonton episode terakhirnya, saya sudah merasa bosan mendengarkan lagu itu). Selain Ame Furashi no Uta, Maeda juga menyanyikan lagu penutupnya, yang berjudul Promise, yang pada klip videonya mengumbar Livi yang sedang tidur, telanjang bulat. Meskipun ada gambar yang menunjukkan bocah laki – laki telanjang, lagu Promise sendiri lumayan enak untuk didengar, dan tidak seperti Ame Furashi no Uta – Beautiful Rain yang terlalu sering diulang, Promise masih menjadi lagu yang saya putar di playlist saya (setidaknya dalam waktu seminggu ini). Sebaliknya, lagu pembuka anime ini, Beautiful World, yang dinyanyikan oleh Joanna Koike, sangatlah normal. Namun, meskipun normal, lagu ini dapat membangkitkan suasana semangat yang meletup – letup dari Nike. Dan selain kedua lagu itu, musik pada SoreSeka kurang lebih cukup baik. Seringkali musik latar mampu memperkuat berbagai macam suasana yang dibawakan, seperti misalnya momen komedik, atau romansa. Didominasi oleh genre orkestra, musik latar SoreSeka mampu melengkapi (atau paling tidak menutupi kekurangan) grafis dan animasinya.
Secara umum, Soredemo Sekai wa Utsukushii merupakan tontonan yang lumayan (kira – kira setingkat dengan beberapa overhyped anime musim ini), dan meskipun “dihiasi” oleh berbagai macam kekurangan di sana sini, SoreSeka masih mampu untuk menyajikan cerita drama romansa berbumbu kehidupan kerajaan (yang cukup tidak wajar). Sedikit saran saja ketika menonton anime ini: rendahkan sedikit ekspektasimu, dan kamu akan mendapatkan tontonan drama romansa yang cukup memikat.
“Woy, Pierrot bikin anime adaptasi manga shoujo lo.”
“Eh?!”
“Terus katanya, lead characternya cewek, mirip Nausicaä lagi.”
“Eeeehhh?!”
Kira - kira, itulah pikiran yang muncul dari benak saya ketika pada musim semi kemarin, Studio Pierrot memproduksi anime berjudul Soredemo Sekai wa Utsukushii ini. Karena terpancing kata - kata karakter utama wanita dan mirip Nausicaä, tanpa ba-bi-bu pun saya langsung menonton anime ini. Sayangnya, pada saat itu, ada dua hal yang tidak saya sadari. Saya tengah menonton anime adaptasi demografi manga yang tidak familiar dengan saya, dan saya tengah menonton anime produksi studio Pierrot. Tapi karena sudah terlanjur, akhirnya saya menonton anime ini sampai habis. Bahkan saya sampai menyempatkan waktu untuk membuat review-nya. Oh iya, sekadar info saja, saya benci studio Pierrot, karena berbagai macam alasan, baik dari segi teknis dan non-teknis (kecuali Tegami Bachi, karena serial itu dihiasi dengan visual yang keren).
Jadi, begini ceritanya, kira - kira: Nike Lemercier, seorang putri dari Negara Hujan yang terpencil, tiba - tiba dikirim oleh orang tuanya (lebih tepatnya, ayahnya) ke Kerajaan Matahari, untuk dinikahkan dengan sang raja, Livius I, atas alasan diplomatis. Nike yang kurang beruntung ini harus menikahi sang raja, atau keselamatan negerinya jadi taruhan, karena sang raja ini terkenal dengan reuputasinya sebagai penakluk negara lain. Setelah akhirnya ia sampai di kerajaan tersebut (setelah sebelumnya dirampok di kota pelabuhan, walaupun akhirnya ia bisa mengalahkan perampoknya), betapa kagetnya ia, kalau sang raja, Livius I, adalah seorang anak kecil. Dari sinilah cerita romansa pasangan aneh ini bergulir.
The Savage Princess and The Little King |
Jujur saya menyukai karakter Nike. Walaupun pengambaran Nike meleset dari bayangan awal saya (ingat omongan tentang Nausicaä tadi?), Nike bukanlah tipe karakter 'putri yang perlu diselamatkan'. Nike mandiri, kuat, dan mampu menjadi penopang dari Livi, bukan, dari seluruh cerita ini. Tentu ada kualitas - kualitas negatif dalam Nike, namun sebatas yang saya tangkap, kualitas negatif tadi hanya berfungsi sebagai comic relief. Oh, ngomong - ngomong soal comic relief, anime ini juga menampilkan trio orang bijak (yang kayaknya mirip sekali dengan trio orang bijak di Outbreak Company, dan saya baru sadar kalau salah satunya diisi suaranya oleh Shuichi Ikeda!), yang seharusnya berlaku sebagai tetua dan penasihat kerajaan, sebagai bumbu komedi yang membuat suasana anime ini menjadi pecah (ayo pak tua, harusnya kalian dapat waktu tayang lebih!). Juga karakter Neil, sang butler (yang diperankan oleh Tomokazu Sugita, ngomong - ngomong), yang dapat menyeimbangkan konten serius dan tidak serius dalam anime ini. Semua karakter di sini nampak sempurna. Cuma ada satu masalah buat saya: Livi.
"Apa? Kamu bilang ada yang salah dengan Livi?" tanya ketiga orang tua itu. |
Meskipun banyak sekali plus minus dari sisi karakter, SoreSeka masih mendapat toleransi saya dari segi plot dan karakter (terima kasih kepada trio kakek tua dan Nike). Namun, nampaknya kualitas animasi dan grafis tidak ingin menambah kualitas dari serial ini. Seperti yang saya katakan sebelumnya, anime ini digarap oleh Pierrot. Iya, studio Pierrot, yang senantiasa menghiasi layar kaca dengan berbagai anime adapatasi manga shonen (kebanyakan dari Jump), setelah sebelumnya sempat merintis tren mahou shoujo pada tahun 80-an. Bagi saya, Pierrot adalah studio animasi yang paling biasa – biasa saja. Mereka tidak pernah berusaha untuk memperindah animasi buatan mereka. Dan hal tersebut terlihat di dalam kualitas animasi dan grafis SoreSeka. Sedikit (dari banyak) kecacatan yang saya temukan dalam anime ini: Background yang hambar, animasi yang kaku, dan parahnya lagi, objek dan latar yang tidak serasi. Tentunya lebih banyak lagi yang bisa ditemukan, dan kebanyakan, hal – hal tadi terjadi di episode pertengahan.
"My, what an interesting scene to glance!" said no one ever. |
Setidaknya, suara Nike, yang diperankan oleh aktris pendatang baru Rena Maeda, tidak buruk. Bahkan, saya sempat mengagumi suara Maeda ketika ia bernyanyi lagu Ame Furashi no Uta – Beautiful Rain pada dua episode awal (walaupun lagu itu nantinya bakal diulang hampir pada tiap episode selanjutnya, sampai akhirnya, pada saat saya menonton episode terakhirnya, saya sudah merasa bosan mendengarkan lagu itu). Selain Ame Furashi no Uta, Maeda juga menyanyikan lagu penutupnya, yang berjudul Promise, yang pada klip videonya mengumbar Livi yang sedang tidur, telanjang bulat. Meskipun ada gambar yang menunjukkan bocah laki – laki telanjang, lagu Promise sendiri lumayan enak untuk didengar, dan tidak seperti Ame Furashi no Uta – Beautiful Rain yang terlalu sering diulang, Promise masih menjadi lagu yang saya putar di playlist saya (setidaknya dalam waktu seminggu ini). Sebaliknya, lagu pembuka anime ini, Beautiful World, yang dinyanyikan oleh Joanna Koike, sangatlah normal. Namun, meskipun normal, lagu ini dapat membangkitkan suasana semangat yang meletup – letup dari Nike. Dan selain kedua lagu itu, musik pada SoreSeka kurang lebih cukup baik. Seringkali musik latar mampu memperkuat berbagai macam suasana yang dibawakan, seperti misalnya momen komedik, atau romansa. Didominasi oleh genre orkestra, musik latar SoreSeka mampu melengkapi (atau paling tidak menutupi kekurangan) grafis dan animasinya.
Aduh, pinggangku encok. Pasti kebanyakan nyanyi Beautiful Rain ini ... |